Dewasa ini, kata "belajar" bisa menjadi kata yang paling
menakutkan bagi anak-anak usia sekolah atau bahkan dewasa sekalipun. Dari sejak
pertama masuk ke dunia sekolah, anak-anak sudah mulai dituntut untuk belajar
membaca, menulis, menggambar, menghitung, dan lain sebagainya. Mereka yang
mampu melakukan itu semua dengan pandangan Bagus "dari" gurunya akan
mendapatkan nilai Bagus pula, sedang hal sebaliknya ditimpakan pada mereka yang
tidak dapat melakukannya dengan Bagus.
Adapun kedepannya, semakin lama mereka belajar, semakin perasaan mereka
dituntut untuk melakukan hal-hal diatas dengan Bagus. Secara tidak sadar mereka
menjadikannya kompetisi untuk menentukan bahwa 'Saya' adalah yang paling Bagus,
'Saya' mampu melakukan semua yang diperintahkan dengan Bagus. Kompetisi yang
awalnya dianggap pertanda baik bagi mereka, kenyataan sekarang adalah
sebaliknya, mereka berlomba untuk mendapatkan pengakuan bahwa 'Saya' adalah
yang paling Bagus. Kompetisi yang seharusnya dapat meningkatkan semangat
belajar, malah berdampak sebaliknya, mereka semangat hanya ketika pada
saat-saat tertentu saja. Kompetisi yang seharusnya menjadikan mereka mampu
berdiri dengan kakinya sendiri, malah membuat mereka harus terus bergantung
pada sebuah tali/tongkat yang harus menopangnya untuk berdiri.
Sekedar mengingatkan kembali, pernah mendengar sebuah keterangan yang
menyebutkan bahwa "Kewajiban untuk menuntut ilmu (belajar) adalah dari
saat kita lahir hingga kita menghembuskan nafas yang terakhir.". dari
keterangan diatas, bisa kita lihat, bahwa proses belajar bukanlah sebuah
kompetensi untuk menentukan siapa yang bisa dan siapa yang tidak bisa. Melainkan
adalah proses menuntut ilmu dalam arti terus mempelajari lebih dalam ilmu yang
kita senangi dan mempelajari semua ilmu
yang kita perlukan. Setiap orang pasti memiliki ilmu yang mereka senangi, sadar
atau tidak sadar ternyata tidak semua guru melihat hal tersebut. Bahkan tidak
jarang ilmu yang awalnya seseorang senangi, menjadi ilmu yang paling dibenci
hanya karena proses mempelajari ilmu yang tidak sesuai dengan karakter anak.
Setiap anak memiliki caranya sendiri untuk memahami sesuatu, begitu pula
dalam proses belajar-mengajar. Pintar, cerdas, kreativ adalah kata-kata yang
sering didengar oleh hampir setiap pelajar, dan merekapun sadar bahwa mereka
harus menjadi pintar, cerdas, kreativ. Tapi, banyak diantara mereka yang tidak
menyadari bahwa dirinya sudah seorang yang pintar, cerdas, dan kreativ sejak
sebelum dirinya masuk ke dalam pendidikan formal, tapi perlahan, kemampuan
tersebut dikikis oleh lingkungan belajar-mengajar. Kenapa bisa? Karena tidak
sedikit pengajar yang sering mendoktrin anak didikannya sebagai seorang yang “bodoh”
dalam pelajarannya, hanya karena mereka (yang dikatakan ‘bodoh’) tidak pernah
mendapat nilai yang bagus. Lantas siapa yang salah?
Disini tidak mencari siapa yang salah atau siapa yang benar, hanya saja,
kita perlu menyadari bahwa kenyamanan saat belajar-mengajar adalah hal yang
paling diinginkan untuk setiap pelajar. Belajar dengan senang hati, belajar
dengan tanpa ada beban dan rasa takut, juga belajar dengan mampu mengungkapkan
apa yang pelajar inginkan. Mereka yang masih anak-anak masih ingin masa bermain
mereka tidak hilang karena alasan belajar. Mereka yang masih remaja masih ingin
setiap yang mereka lakukan adalah hal yang memiliki kesan positif untuk
dirinya. Mereka yang beranjak dewasapun masih ingin melakukan hal baru dengan
suasana yang baru dengan orang-orang
tertentu dan tentunya setiap orang termasuk diri saya sendiri paling tidak suka
jika terdapat pandangan yang berbeda dengan apa yang kita yakini. Dari sini
biasanya terjadi penyimpangan dalam mempelajari hal. Dari sini biasanya
penyimpangan untuk melakukan hal baru cenderung ke arah yang negativ karena
kurangnya bimbingan atau bahkan bimbingan yang tidak sampai kepada karakter
seseorang. Yang akhirnya terdapat perbedaan pandangan dan cara berfikir
sehingga satu sama lain hanya mempertahankan apa yang mereka anggap benar
menurut pandangannya.
Kita semua pernah membaca bahwa kita harus mendalami ilmu yang kita senangi
juga harus mempelajari semua ilmu yang kita perlukan. Artinya kita memiliki
pandangan terhadap sesuatu, orang lainpun pasti memiliki pandangan terhadap hal
tersebut. Jika pendapat kita dibantah sudah pasti kita akan mempertahankan apa
yang kita yakini. Tapi, jika kita mendapat dukungan dari orang luar, tentunya
kita akan menganggap bahwa dirinya juga adalah bagian dari pemikiran kita. Lalu
bagaimana kita bertukar pendapat agar kita tahu pendapat mana yang lebih baik?
Kita bisa mulai dari pandangan mereka, tentang hal yang mereka yakini. Ambil hal-hal positif
dari yang mereka yakini, lalu berikan beberapa opsi atau pilihan yang tetunya
secara naluri mereka akan memilih pilihan yang lebih baik. Selipkan pandangan
kita dalam opsi tersebut, dan jangan katakan bahwa pandangan kita adalah opsi
paling baik. Biarkan mereka memilih sesuai dengan karakter yang mereka miliki,
sehingga mereka bisa menerima setiap nasihat dan nilai negativ dari apa yang
mereka yakini. Cara ini tidak akan selalu berhasil, bahkan kita harus melakukannya
berulang-ulang (mungkin 10x, atau 100x atau bahkan 1000x) sampai dia sadar
dengan apa yang kita katakan.
Oh iya, terimakasih telah membaca artikel sederhana ini. Semoga bermanfaat.
Dan penulis juga mohon maaf jika terdapat kesalahan dalam penulisan ini,
atau terdapat hal yang menyinggung pembaca.
Sebagai kata penutup saya ingin mengutip sebuah ketrangan:
“Belajar yang PALING EFEKTIF adalah dengan Mengajar.”
Baca Selengkapnya - Belajar atau Mengajar? Siapa Takut!